Menu Bar

Mantan Walikota Cilegon Divonis Tiga Tahun

Mantan Walikota Cilegon Divonis Tiga Tahun

Diterbitkan pada Jumat, Maret 08 2013 11:18
img4b468b3eb7f47SERANG – Terdakwa mantan Walikota Cilegon Aat Syafaat yang tersangkut kasus korupsi pembangunan Dermaga Pelabuhan Kubangsari, senilai Rp 49,1 miliar divonis tiga tahun enam bulan penjara. Ketua Majelis Hakim Poltak Sitorus membacakan putusan itu di Pengadilan Tipikor, Pengadilan Negeri (PN) Serang, Kamis (7/3).
Terdakwa juga diwajibkan membayar denda Rp 400 juta subsider tiga bulan penjara dan uang pengganti Rp 7,5 miliar. “Jika tidak mampu mengganti uang itu dalam waktu sebulan harta benda disita. Apabila barang yang disita tak mencukupi untuk menutupi uang pengganti maka diganti dengan hukuman selama dua tahun penjara,” tegas Poltak.
Terkait vonis majelis hakim untuk ganti rugi, denda dan hukuman subsider ini, juga jauh lebih ringan dari tuntutan JPU KPK enam tahun penjara. JPU KPK dalam tuntutannya, menuntut terdakwa untuk membayar denda sebanyak Rp 400 juta, subsider lima bulan kurungan. Selain itu, untuk ganti rugi atau uang pengganti sebesar Rp 7,5 miliar antara tuntutan JPU KPK dikabulkan oleh majelis hakim dalam vonisnya.
Namun, untuk subsider jika terdakwa tidak mampu membayar uang pengganti atau aset yang disita tidak mencukupi, dalam tuntutan JPU KPK, terdakwa dituntut untuk menjalani hukuman penjara selama tiga tahun.
Sedangakan para vonos kemarin, majelis hakim hanya memvonis terdakwa dua tahun sebagai hukuman pengganti jika tidak mampu membayar uang pengganti. JPU dari KPK Supardi mengatakan, vonis hukum penjara yang ditetapkan majelis hakim memang lebih ringan.
Namun, menurut Supardi, ada kesamaan pendapat antara JPU KPK dengan majelis hakim soal ganti rugi yakni Rp 7,5 miliar.
Sumber : Investor Daily, 08 Maret 2013
« Baca Selengkapnya »
Share On:

KPK Rekonstruksi Penyerahan Uang

KPK Rekonstruksi Penyerahan Uang

Diterbitkan pada Senin, Maret 11 2013 14:03 img4b26fb2f9879fKomisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan rekonstruksi pemberian uang suap kasus pengurusan kuota impor daging di Kementerian Pertanian.

"Tadi siang penyidik KPK melakukan rekonstruksi di PT Indoguna Utama dengan membawa serta tersangka untuk kegiatan rekonstruksi tersebut," kata Juru Bicara KPK Johan Budi di Jakarta, Jumat.


PT Indoguna Utama berada di Jl Taruna Nomor 8 Pondok Bambu, Jakarta Timur, tempat dua direktur perasahaan tersebut, Aiya Abdi Effendi dan Juard Effendi, menyerahkan uang commitment fee senilai Rp 1 miliar kepada orang dekat mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq, Ahmad Fathanah.

"Rekonstruksi penyerahan uang dari AAE (Arya Abdi Effendi) ke AF (Ahmad Fathanah)," jelas Johan.

Tujuan rekonstruksi menurut Johan adalah untuk mencari dan mendapatkan kebenaran yang sesungguhnya dari suatu peristiwa pidana.

"Rekonstruksi dilakukan apabila penyidik ingin melihat peristiwa yang disampaikan di lapangan dan biasanya tidak lama setelah ini akan dinaikkan ke proses penuntutan, sekitar satu-dua pekan lagi," tambah Johan.

Dalam kasus ini KPK telah menetapkan empat orang tersangka, yaitu mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq, orang dekat Luthfi, Ahmad Fathanah, serta dua orang direktur PT Indoguna Utama yang bergerak di bidang impor daging yaitu Juard Effendi dan Aiya Abdi Effendi.

Dalam pengembangannya, KPK menjerat Fathanah dengan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU). Terkait dengan TPPU ini, Johan mengatakan, KPK masih melakukan pengembangan. Terbuka kemungkinan ada tersangka baru. "Bisa tersangka yang lainnya, bisa juga pihak yang dikembangkan dari penyidikan TPPU Fathanah," katanya.

Lutfhi diduga mempergunakan pengarah (trading in influence) kepada kademya di PKS, Menteri Pertanian Suswono, untuk pengaturan kuota impor daging sapi.

Kronologis penangkapan yang pemah dijelaskan oleh Johan adalah pada Selasa pasca penerimaan uang, Fathanah pergi ke Hotel Le Meredien Jakarta dan bertemu dengan seorang perempuan, sementara Juard dan Arya juga meninggalkan perusahaan itu.

Setelah KPK memastikan ada penyerahan uang maka tim penyidik KPK melakukan penangkapan pada sekitar pukul 20.20 WIB di hotel tersebut.

Uang senilai Rp 1 miliar itu dimasukkan ke dalam tas kresek hitam ditemukan dalam mobil Toyota Land Cruiser Prado hitam nomor polisi B 1739 WFN milik Fathanah. Uang itu merupakan bagian nilai suap seluruhnya diduga, mencapai Rp 40 miliar dengan perhitungan commitment fee per kilogram daging adalah Rp 5 ribu dengan PT Indoguna meminta kuota impor hingga delapan ribu ton.

Selain uang, KPK juga mengamankan sejumlah buku tabungan dan beberapa berkas serta dokumen dari mobil tersebut.

Setelah itu, KPK melakukan penangkapan terhadap Juard dan Arya di rumah Arya di kawasan Cakung pada pukul 22.30 WIB.

Sumber : Suara Karya, 9 Maret 2013
« Baca Selengkapnya »
Share On:

Ini Tanggapan Jokowi soal Tertidurnya Anas Effendi

Ini Tanggapan Jokowi soal Tertidurnya Anas Effendi
 
Penulis : Indra Akuntono | Rabu, 13 Maret 2013 | 16:43 WIB
Ini Tanggapan Jokowi soal Tertidurnya Anas Effendi KOMPAS.com/Indra Akuntono Kepala Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah DKI Jakarta Anas Effendi tertidur saat Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo menyampaikan pidatonya dalam rapat paripurna di Gedung DPRD DKI Jakarta, Rabu (13/3/2013).

JAKARTA, KOMPAS.com — Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo mengeluarkan isyarat akan mengambil tindakan terhadap sikap Kepala Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) Anas Effendi yang tertidur dalam rapat paripurna di Gedung DPRD DKI Jakarta, Rabu (13/3/2013).
Hal itu dilontarkan Jokowi seusai meninjau lokasi dan pengungsi korban kebakaran di Salemba, Jakarta Pusat, pada sore hari. "Fotonya mana? Berikan saya. Ah, kayak enggak tahu saja," kata Jokowi ketika ditanya tentang tindakan yang akan diambil atas kejadian tersebut.
Dalam banyak kesempatan, Jokowi selalu tegas menindak bawahannya yang tak disiplin atau memiliki kompetensi rendah. Ia tak segan-segan membuat kejutan dengan mencopot atau memutasi bawahannya yang bertindak seperti itu. Hal itu pernah ia tunjukkan ketika mencopot Kepala Unit Pelaksana Teknis Rusun Marunda dan Kepala Dinas Pekerjaan Umum.
Anas Effendi tampak tertidur saat Jokowi menyampaikan pidato dalam rapat paripurna DPRD DKI, Rabu siang. Dari pantauan Kompas.com, Anas tertidur cukup pulas dalam kondisi duduk di deretan kursi paling belakang. Duduk di sisi kirinya adalah Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) I Made Karmayoga yang tampak risih dan terganggu karena Anas beberapa kali kehilangan keseimbangan dan menjatuhkan posisi kepalanya ke sisi kiri serta kanan.
Sedemikian pulasnya, Anas tak sadar bila kondisinya itu mengundang perhatian beberapa peserta rapat. Belasan wartawan yang tengah meliput jalannya rapat dan berada tak jauh dari posisi saat Anas tertidur pun menangkap situasi tersebut.
Anas tertidur hampir sepanjang Jokowi menyampaikan pidatonya dalam rapat tersebut. Anas segera terbangun dari tidurnya setelah rapat paripurna dinyatakan selesai dan ditutup oleh Ketua DPRD DKI Ferrial Sofyan.
Rapat paripurna di DPRD DKI itu mengagendakan penyampaian jawaban eksekutif kepada legislatif tentang Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2013-2017.
Editor :
Laksono Hari W
« Baca Selengkapnya »
Share On:

Parpol Tersandera Kasus Korupsi

Parpol Tersandera Kasus Korupsi



img4c984c17e4b05Peran dan fungsi partai politik (parpol) sebagai pilar demokrasi saat ini kurang terlihat kehadirannya. Banyak parpol kini justru disibukkan oleh berbagai kasus korupsi yang menimpa para kadernya. Dalam beberapa kasus, korupsi dijadikan senjata parpol untuk saling serang. Pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI), Boni Hargens, menilai parpol telah tersandera oleh kasus korupsi yang membelit kadernya. "(Korupsi) Sudah menyatu dan jadi endemik (bagi parpol)," kata Boni kepada KORAN SINDO di Jakarta kemarin.

Dia melihat politik saat ini sudah menjadikan uang sebagai sumber daya utama. Hal itu terjadi karena parpol menganut sistem berbiaya tinggi (high cost). "Karena parpol tidak punya uang, kader menjadi sapi perah dan ujung tombak untuk mencari dana," ujarnya.

Cara satu-satunya yang dilakukan kader parpol menggaet dana adalah melalui kebijakan untuk memperoleh ruang korupsi. Menurut Boni, kader parpol yang masuk ke politik akan mengikuti pola-pola tersebut.

Wakil Ketua MPR Hajriyanto Y Thohari sebelumnya mengatakan, fungsi parpol sebagai pengawas para kadernya di legislatif dan eksekutif agar tidak korup faktanya memang tidak terlihat. "Ini yang sekarang sudah menyandera," kata Hajriyanto.

Banyak alasan kenapa parpol seolah terjebak pada perilaku koruptif. Antara lain karena kader-kader partai di legislatif dan eksekutif banyak yang merangkap menjadi pejabat teras partai Akibatnya terjadi komplikasi antara yang mengawasi dan yang diawasi. "Sulit dan pasti tidak akan efektif jika mereka harus mengawasi dirinya sendiri. Dalam konteks ini maka tidak ada reward and punishment," ujarnya. Sebab lain, kata dia, parpol hanya menjalankan fungsi bagaimana menang dalam pemilu. Upaya pemenangan pemilu ini yang justru menjadi kepedulian dan pekerjaan parpol.

Struktur kepengurusan parpol saat ini hampir semuanya mengutamakan fungsi elektoral, yaitu bidang-bidang pemenangan pemilu. "Sementara fungsi kepartaian lain seperti pengkajian, penegakan kehormatan, kontrol, dan lain-lain diabaikan atau dipinggirkan," keluh Hajriyanto.

Ketua DPP Partai Golkar ini mengemukakan, saat ini yang dipikirkan parpol hanya bagaimana menang pada pemilu, pilkada, danpilpres. Dia mengakui bahwa hal itu memangpentmg. Untuk apa parpol didirikan kalau bukan untuk menang pemilu dan kekuasaan. Tetapi, mestinya ada perhatian selain kekuasaan, yaitu untuk apa kekuasaan itu dikejar.

Menurut Hajriyanto, jawabnya adalah untuk rakyat, bangsa , dan negara. Dengan kesadaran seperti ini, maka muncul kerisauan bahwa perilaku koruptif itu bertentangan dengan tujuan atau misi parpol. "Parpol juga harus bertindak mengawasi dan mengontrol serta menghukum kader-kadernya agar tidak korup," katanya.

Saat ini banyak partai yang tersandera kasus korupsi. Partai Demokrat, pemenang Pemilu 2009 dan berhasil mengantarkan figur sentralnya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai presiden untuk kedua kalinya belakangan ini kadernya banyak terjerat kasus korupsi.

Petinggi Demokrat yang saat ini bermasalah dengan korupsi adalah Angelina Sondakh (mantan wakil sekjen), Hartati Murdaya Poo (anggota dewan pembina), Andi Mallarangeng (mantan menteri pemuda dan olahraga, dan mantan sekretaris dewan pembina), M Nazaruddin (mantan bendahara umum), dan Anas Urbaningrum (mantan ketua umum) yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus proyek Hambalang.

Di Partai Golkar, kader yang berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah Zulkarnaen Djabar (mantan wakil bendahara umum) terkait kasus korupsi pengadaan Alquran di Kementerian Agama. Kasus ini juga melibatkan kader muda Golkar Fand A Raffiq dan Dendy Prasetya. Gubernur Riau Rusli Zainal, yang juga kader Golkar, saat ini pun terseret tiga kasus sekaligus dan telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) juga saat ini masih tersandera kasus korupsi, yakni ditetapkannya Emir Moeis sebagai tersangka dalam kasus PLTU Tarahan. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersandung kasus suap impor daging sapi. Tidak tanggungtanggung, salah satu tersangka dalam kasus ini adalah Luthfi Hasan Ishaaq (saat itu presiden PKS). Partai Amanat Nasional (PAN) juga mengalami hal serupa. Kadernya, yakni Wa Ode Nurhayati (saat itu anggota Badan Anggaran DPR) terseret kasus suap dalam proyek Pembangunan Percepatan Infrastruktur Daerah (PPID).

Wakil Ketua DPR Pramono Anung menilai kader parpol yang terjerat kasus hukum, kemudian menjadi sandera bagi partai, tidak bisa dilepaskan dari ketidaktepatan sistem politik saat ini. Politikus senior PDIP ini mengungkapkan, sistem politik baik yang tercantum di dalam Undang-Undang (UU) Parpol, UU Pemilu, UU Pilpres hingga UU Pemda tidak mendukung terwujudnya politik ideal bagi bangsa ini.

Tidak adanya batasan biaya kampanye dan sistem proporsional terbuka dengan keterpilihan suara terbanyak berarti hal yang lebih menentukan dalam politik adalah uang. "Karena itu pada Pemilu 2009, yang menghasilkan sekitar 70% muka baru, (parlemen) didominasi oleh pengusaha," ujar Pram.

Dia mengatakan, peran anggota DPR yang seharusnya sebagai penjaga ideologi partai dalam mewujudkan cita-cita dan visi misi untuk menyejahterakan rakyat hanya menjadi motivasi turunan. "Motivasi utamanya adalah ekonomi dan kekuasaan," ujarnya.

Untuk itu, ke depan mau tidak mau harus diperbaiki sistemnya agar peran dan fungsi parpol sebagai pilar dem okrasi dan wadah rekrutmen kepemimpinan benar-benar sesuai dengan yang diharapkan. "Sistemnya harus diperbaiki, agar partai bisa menempatkan orang baik bisa masuk ke DPR. Selama sistem pemilu tak diperbaiki, maka tak bisa berharap ke DPR mendatang. Korupsi tetap masih akan terjadi," katanya.

Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat Hayono Isman mengatakan, salah satu janji reformasi adalah memberantas korupsi. Untuk itu, parpol adalah motor utama karena partai merupakan pilar yang menyuplai penyelenggara negara.

"Partai Demokrat menjadi bagian dari yang ikut memberantas korupsi, bahkan kami berkomitmen berada di garda depan. Karena itu konsekuensinya ketika kader Demokrat tersangkut korupsi, maka harus secara tegas dan jelas untuk menindaknya dengan tidak pandang bulu," katanya.

Direktur Sinergi Masyarakat, Said Salahudin, melihat tren korupsi oleh anggota dan pengurus parpol memang meningkat. "Praktik korupsi yang dilakukan oleh kader partai politik kini sudah pada taraf yang kronis," ujarnya.


Sumber : Seputar Indonesia, 11 Maret 2013
« Baca Selengkapnya »
Share On:

Pertemuan DPR Didalami

Pertemuan DPR Didalami

img4b468ba2b64a9Jakarta - Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Dasrul Djabar, diperiksa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi soal dugaan pertemuan anggota DPR dengan sejumlah perwira dari Korps Lalu Lintas Polri. Dasrul juga ditanya ada tidaknya aliran dana dalam pertemuan tersebut.
Dasrul, Kamis (7/3), di Jakarta, diperiksa sebagai saksi dalam penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan simulator berkendara di Korlantas dengan tersangka mantan Kepala Korlantas Inspektur Jenderal Djoko Susilo. Dasrul adalah anggota DPR kelima yang diperiksa sebagai saksi.
Dasrul masuk ke KPK sekitar pukul 10.00 dan baru keluar pukul 19.50. Dia menceritakan pertanyaan yang diajukan penyidik. Ia mengakui, penyidik menanyakan pertemuan anggota Komisi III DPR dengan perwira dari Korlantas.
”Ada (pertanyaan soal aliran dana). Saya tidak tahu. Apa ada aliran? Saya bilang, saya tidak tahu,” ujar Dasrul.
KPK bertanya mengenai sumber dana pengadaan simulator. Menurut Dasrul, sumber dananya adalah penerimaan negara bukan pajak (PNBP). ”Kalau PNBP-nya tidak dibahas di Komisi III, setahu saya,” katanya.
Juru Bicara KPK Johan Budi SP mengatakan, saat ini fokus KPK adalah menyelesaikan berkas tersangka Djoko Susilo. ”Sekarang, kami fokus pada DS, baru setelah itu tiga tersangka lainnya,” ungkapnya.
Dalam penyidikan kasus dugaan korupsi Bank Century, KPK telah memeriksa mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Siti Chalimah Fadjrijah di sebuah rumah sakit di Jakarta. Menurut Johan, pemeriksaan untuk mengetahui kondisi kesehatan Siti. KPK menyebut Siti sebagai yang bisa dimintai pertanggungjawaban hukum, selain mantan deputi BI lain, Budi Mulya, yang sudah jadi tersangka. Berbeda dengan Budi, status Siti menunggu kondisi kesehatannya.

Sumber : Kompas, 08 Maret 2013
« Baca Selengkapnya »
Share On:

KPK Sita 4 Mobil dan 3 SPBU Milik Djoko Susilo

KPK Sita 4 Mobil dan 3 SPBU Milik Djoko Susilo

joko susiloJAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menyita sejumlah aset milik mantan Kepala Korlantas Polri Irjen Djoko Susilo. Kali ini KPK menyita empat mobil dan tiga stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) yang diduga milik tersangka kasus dugaan korupsi Simulator SIM dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) itu.
“Penyidik KPK telah menyita empat mobil yang diduga berkaitan dengan tersangka DS (Djoko Susilo),” kata Juru Bicara KPK, Johan Budi SP, Selasa (12/3).
Keempat mobil tersebut, lanjut Johan Budi, masing masing berjenis Jeep Wrangler, MPV Serena, Toyota Harrier, dan Toyota Avanza. ”Mobil ini diduga terkait dengan DS dan sekarang sedang diamankan di KPK,” ujar Johan.
Sebelumnya pada Senin (11/3) KPK menyita tiga SPBU yang berlokasi di Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jakarta. Atas penyitaan tiga SPBU tersebut, pengacara Djoko Susilo, Juniver Girsang mengaku keberatan.
Menurut dia, KPK sudah melampaui kewenangan yang ada, karena ketiga SPBU itu dimiliki Djoko dan keluarganya sebelum tahun 2010/2011 atau sebelum perkara pengadaan Simulator SIM terjadi. Dia juga sangat menyayangkan langkah KPK yang tidak membuktikan dulu tindak pidana asal (predicate crime) sebelum menyita aset-aset untuk dugaan pencucian uang.
“Artinya ini kan belum dibuktikan bahwa Pak Djoko melakukan suatu tindak pidana apa tidak, kok sudah dilakukan tindakan-tindakan penyitaan terhadap aset yang diperoleh bukan pada saat kejadian,” kata dia.
20 Item Disita
Johan melanjutkan, meski berada dalam status penyitaan, bukan berarti ketiga SPBU tidak dapat dioperasikan. Penyitaan ini dilakukan untuk mencegah terjadinya perpidahan kepemilikan SPBU kepada pihak lain.
Dengan penyitaan tersebut, hingga kini KPK sudah menyita sekitar 24 item milik Djoko yang terletak di Jakarta, Semarang, Solo, Yogyakarta, Depok, dan Bogor yang terdiri dari tanah, bangunan, termasuk tiga SPBU. Meski telah menyita sejumlah aset tersebut, Johan memastikan jika pihaknya tak akan berhenti menelusuri aset Djoko lainnya. Selain melakukan penyitaan, Johan mengatakan penyidik juga memeriksa sejumlah saksi untuk tersangka Djoko Susilo. Mantan bendahara Korlantas Kompol Legimo termasuk salah seorang saksi yang diperiksa KPK.
Legimo yang dahulu sempat menjadi tersangka kasus simulator yang disidik Mabes Polri, diperiksa terkait tindak pidana pencucian uang yang diduga dilakukan oleh Djoko Susilo. Sebelumnya, selain ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi Simulator SIM di Korlantas Polri 2011, Irjen Djoko Susilo juga ditetapkan sebagai tersangka TPPU pada Senin (14/1) lalu.
Penetapan Irjen Djoko Susilo sebagai tersangka TPPU ini setelah KPK menemukan adanya dugaan praktik pencucian uang dalam proyek Simulator SIM. Pencucian uang itu diduga kuat berasal dari tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Djoko Susilo.
Pencucian uang yang diduga dilakukan Djoko antara lain yaitu menyamarkan, mengubah bentuk kemudian juga menyembunyikan uang hasil tindak pidana korupsi yang dilakukannya. Atas perbuatannya tersebut, Djoko disangkakan Pasal 3 dan atau Pasal 4 Undang-Undang (UU) Nomor 8 tahun 2010 tentang TPPU. Dia juga dijerat Pasal 3 ayat 1 dan atau Pasal 6 ayat 1 UU Nomor 15 tahun 2002 tentang TPPU.
Sedangkan untuk kasus dugaan korupsi Simulator SIM di Korlantas Polri tahun anggaran 2011, KPK menduga Djoko selaku Kakorlantas sekaligus pejabat penanda tangan surat perintah membayar (SPM) telah menyalahgunakan kewenangan dengan tujuan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau perusahaan. Atas perbuatannya, Djoko dijerap Pasal 2 ayat (1) huruf a UU Pemberantasan Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) kesatu KUHP jo Pasal 56 KUHP. Serta Pasal 3 UU Pemberantasan Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) kesatu KUHP jo Pasal 56 KUHP.
Dalam proyek dengan anggaran senilai Rp 196,8 miliar itu ditengarai telah terjadi penggelembungan harga menyangkut pengadaan mesin Simulator SIM. KPK menduga telah terjadi kerugian negara hingga Rp 100 miliar.
Bersama Djoko, KPK juga menetapkan tiga orang lagi sebagai tersangka. Mereka antara lain, Brigjen Didik Purnomo, yang saat pengadaan menjabat sebagai Wakil Kepala Korlantas Polri. Ditambah lagi dua pimpinan perusahan rekanan Korlantas Polri, yaitu Direktur Utama PT Citra Mandiri Metalindo Abadi (PT CMMA) Budi Susanto dan Direktur Utama PT Inovasi Teknologi Indonesia (PT ITI) Sukoco S Bambang.
Sumber : Investor Daily, 13 Maret 2013
« Baca Selengkapnya »
Share On: